HAM

Memahami HAM dari Kisah Diri

Dari Seksualitas ke Pengantar HAM
Pukul satu siang, Kamis 24 Mei 2012, di ruangan beralas karpet, tak kurang dari 15 orang duduk melingkar. Mereka mantan pecandu, korban obat terlarang, transgender, gay dan pekerja seks yang hadir untuk ke tujuh kalinya untuk saling belajar, memupuk bekal agar dibagi kembali ke komunitasnya. Hadir diantara mereka teman-teman mahasiswa dengan peralatan kamera. Para mahasiswa jurnalistik itu turut belajar terkait rencana mereka untuk memproduksi film dokumenter.

Arah jarum jam menunjuk 13.15, Hartoyo, aktivis gay dan penanggung jawab program, mengajak peserta menceritakan pelajaran di pertemuan sebelumnya tentang gender dan seksualitas. Beberapa peserta menguraikan perbedaan antara seks, seksual dan seksualitas. Sementara peserta lain mengingatkan pelajaran sungai hidup, saat mereka menggambar perjalanan hidup.

Selanjutnya fasilitator Dewi Nova, penulis yang queer, memberikan alur materi HAM yang akan peserta ikuti dalam 4 pertemuan. Melalui gambar di plano, Dewi Nova menjelaskan di tahap 1, peserta belajar memahami HAM dan pelanggaran HAM, dengan cara menggambar kisah diri. Gambar kisah diri ini kemudian akan menjadi basis analisa untuk memahami HAM dan pelanggaran HAM yang akan dijelaskan Harry Wibowo, pegiat HAM yang sosialis. Pada tahap 2, peserta diajak menganalisa lebih khusus mengenai Hak Sipil Politik. Peserta akan mengunjungi KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) dan mendapatkan penjelasan dari Papang Hidayat terkait hak hak sipil politik. Lalu peserta kembali menganalisa gambar kisah diri untuk menunjukan hak-hak sipil politik yang mereka alami. Tahap 2 akan ditutup dengan keikutsertaan peserta pada Kamisan (aksi yang dilakukan ibu-ibu dan keluarga korban kekerasan dan orang hilang) agar peserta dapat berinteraksi dengan para penyintas korban pelanggaran hak sipil politik dan terbangun solidaritas. Di tahap 3, peserta akan belajar hak hak ekonomi sosial budaya melalui kunjungan ke lembaga negara yang menjalankan kewenangan pemenuhan layanan publik. Sambil membandingkan dengan realitas pada gambar kisah diri. Proses ini akan dibantu seorang nara sumber yang berpengalaman di bidang hak sosial budaya. Pada tahap 4, peserta akan merumuskan pelanggaran HAM yang mereka alami(merujuk pada gambar kisah diri) dan mendialogkannya dengan Komnas HAM.

Kisah Diri yang Dirugikan Negara
Dewi Nova meminta peserta untuk menggambar kisah diri mengenai perlakuan yang tidak disukai atau peserta anggap merugikan, yang dilakukan aparat negara, petugas PUSKESMAS, Satpol PP, POLRI, dll. Terutama perlakuan merugikan karena mereka pecandu, ODHA dan terkait orientasi seksual, identitas dan ekpresi gender. Juga apabila peserta mengalami kerugian akibat kebijakan yang diskriminatif terhadap pekerja seks, pecandu, ODHA, dan LGBTI (Lesbian Gay Biseksual Transgender dan Interseks). Peserta menggambarnya pada kertas plano dengan spidol dan pastel dalam waktu 30 menit.

Artikel terkait  Analisis Gender dalam Refleksi Cerita dan Diri

Beberapa menit kemudian nampak keasyikan peserta dengan gambar kisah dirinya. Spidol dan pastel warna warni berserakan di samping mereka, berbagai gambar mulai terbentuk, dengan ragam teknik dan warna, sebagaimana ragam kisah mereka.

Setiap peserta diberi waktu 5 sampai 7 menit untuk menjelaskan gambarnya dan menyampaikan dampak kisah itu pada hidup mereka, serta keinginan mereka pada negara dan masyarakat.

Seorang peserta yang gay, menunjukan gambar sekolah dan menceritakan perlakuan guru yang tidak dapat mereka terima, di masa sekolah. Guru itu menyebutnya bencong karena ia tidak memberikan perhatian padanya. Selain itu dia juga diejek seperti perempuan oleh guru olah raga karena mengenakan kaos berwarna biru muda.

Peserta yang lain menunjukan gambar 2 lelaki yang di atas tempat tidur. Ia menceritakan pengalaman pertama tidur bersama laki-laki karena diajak mabuk sama temannya sampai larut dan menemukan dirinya telanjang bersama laki-laki tua keesokan harinya. Ia juga pernah ditangkap polisi hanya karena kebetulan berada di dekat 2 lelaki lain yang sedang bersetubuh. Polisi menuduhnya sebagai gigolo dan ketika memeriksa dompetnya, seluruh uangnya diambil polisi.

Sementara peserta waria menunjukan gambar kamar pilkades (pemilihan kepala desa) yang diberi keterangan perempuan dan laki-laki. Jauh hari, waria yang sehari-hari mengenakan jilbab dan dipanggil ibu di desanya ini, telah meminta panitia pilkades agar ia bisa memilih di kamar perempuan dan panitia menyetujuinya. Tetapi di hari pelaksanaan, petugas memintanya antri di barisan laki-laki dan memilih di kamar laki-laki. Situasi ini membuatnya tidak nyaman dan memilih untuk pulang, sehingga ia kehilangan hak pilih. Gambar lain menunjukan suasana di kantor desa, ia juga sedih setelah 10 tahun di KTPnya tertulis berjeniskelamin perempuan, kini Pak Lurah dan petugas pengurus KTP tak bisa lagi memberi keterangan jenis kelamin perempuan setelah pemberitaan pengadilan pemalsuan identitas terhadap transgender perempuan ke laki-laki, mencuat di media. Petugas takut berhadapan dengan hukum, meskipun pemerintah desa dan masyrakat lebih dari 10 tahun telah menghormati ia yang menghayati identitasnya sebagai perempuan. Hal lain yang membuatnya kecewa ia harus difoto berpenampilan laki-laki dan melepaskan jilbabnya untuk kebutuhan KTP.

Artikel terkait  Dialog Kebijakan Nasional CLM: #BerbenahBersama: Membangun kolaborasi multi-pihak untuk mendorong ko-kreasi dalam program penanggulangan HIV

Peserta waria lain yang juga pekerja seks menunjukan gambar para pekerja seks, para pembeli jasa seks juga Satpol PP dan POLRI yang sedang melakukan razia, lengkap dengan mobil pengangkut pekerja seks yang ditangkap. Ia memberikan warna lebih menyala pada sosok pekerja seks untuk menunjukan ketidakadilan yang mereka alami saat razia, dan petugas yang hanya memusatkan penangkapan pada mereka. Tak jarang pada kejar-kejaran penangkapan para pekerja seks terluka dan disiksa, beberapa temannya bahkan meninggal dunia.

Sementara itu, peserta waria yang lain mengeluhkan layanan konseling tes HIV/AIDS, yang dokternya menyarankan mereka untuk berubah orientasi seks, sehingga banyak temannya yang enggan untuk memeriksakan diri.

Seorang peserta mantan pecandu, menggambarkan rumahnya yang berdekatan dengan kantor polisi, di sebuah area yang terkenal sebagai pusat perdagangan narkoba di Jakarta. Menurutnya bisnis narkoba di lingkungannya tidak saja diketahui tapi juga bekerja sama dengan polisi setempat. Kadang-kadang ia pun nyabu bersama dengan para polisi tersebut. Ia sangat kecewa, ketika ia dan bandar-bandar kecil ditangkap, sambil ditendang, dan ditelanjangi dibawah ancaman senjata oleh POLRI, sementara bandar besarnya baru mereka tangkap beberapa bulan kemudian.

Dari penjelasan gambar tersebut, Dewi Nova merangkum beberapa hal sebagai berikut:

 

 

 

Relasi Pelaku Korban

Guru  kepada murid pada proses belajar Dokter  kepada pasien pada proses konseling Satpol PP dan POLRI pada pekerja seks waria dan gay pada proses razia

POLRI pada pemakai narkoba pada proses penangkapan

Pemerintah Desa dan petugas pilkades pada warga waria saat proses pilkades dan pengurusan KTP
 

 

 

 

 

Dampak Pada Peserta

FisikKehilangan kemerdekaan (ditahan)

 

Luka akibat tendangan, pemukulan, dll, hingga kematian

PsikisBete

Merasa teraniaya

 

Kecewa diperlakukan tidak adil

SeksualKecewa dipaksa jadi hetero

 

Malu disebut bencong

 

Merasa hina karena ditelanjangi

Sosial-PolitikKehilangan hak memilih

 

Kehilangan layanan tes HIV/Aids

  

Keinginan Peserta  pada Negara

Guru memahami LGBTI dan tidak menghakimi murid Dokter agar profesional sebagai konselor dan tidak memaksakan keyakinannya pada pasien POLRI dan Satpol PP agar menjalankan tugas tanpa kekerasan Pemerintah merumuskan kebijakan dan prosedur untuk warga LGBTI

Memahami HAM
Berdasarkan kisah diri, nara sumber Harry Wibowo mengajak peserta untuk meidentifikasi kisah mereka dan mengkategorisasikannya yang mana diskriminasi dan kekerasan.

Hary Wibowo lalu menjelaskan implikasi dari peristiwa diskriminasi yang mengakibatkan peserta tidak dapat menikmati hak-hak mereka. Antara lain, hak untuk memilih kepala desa, pada kisah waria yang dipaksa masuk ke kamar yang disediakan untuk pemilih laki-laki. Diskriminasi ini bersifat negatif yang mengakibatkan orang menjadi tidak nyaman dan dibedakan. Dan seharusnya tidak ada perbedaan melainkan kesetaraan karena setiap orang memiliki kesamaan sebagai Human = manusia.

Dari pemikiran seperti itu lahir Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 yang menyatakan “SEMUA MANUSIA ITU DI LAHIRKAN DI MUKA BUMI INI SAMA..TIDAK DI BEDA-BEDAKAN OLEH APAPUN JUGA…” Deklarasi ini di cetuskan oleh NEGARA BANGSA yang terdiri dari yudikatif, legislatif dan eksekutif. Dari sejarah kelahirannya, HAM itu komitmen dan janjinya negara, karena itu juga yang berkewajiban memenuhi HAM adalah negara, dan jika negara tidak dapat memenuhinya, negara telah melakukan pelanggaran terhadap HAM warga negara.

Dalam hal ini negara tidak boleh melakukan diskriminasi kepada:
-Agama /Keyakinan ( termasuk atheis, agnostik, humanis, dll )
-JenisKelamin
-Kebangsaan
-Ras
-Status sosial lainnya.

DUHAM juga bukan wahyu, itu adalah hasil dari refleksi negara-negara atas kekejaman pada PD I, II dan III. Dari kekejaman tersebut, negara-negara berpikir harus ada kesepakatan yang diakui bersama yaitu DUHAM.

Diskusi diakhiri dengan kegelisahan peserta terhadap kesenjangan antara semangat DUHAM dan praktik aparat negara yang mereka hadapi pada realitas. Hartoyo dan beberapa peserta juga menyampaikan kekecewaan laporan situasi HAM Indonesia terhadap Dewan PBB yang telah berhasil menekankan pada agama minoritas seperti Ahmadiyah tapi abai pada LGBTI, mantan pecandu dan pekerja seks.

Harry Wibowo mendorong peserta untuk membangun solidaritas dengan kelompok lain yang dilanggar HAMnya dan bekerja sama dengan gerakan HAM. Sementara Dewi Nova, meminta peserta untuk dapat membedakan antara nilai-nilai DUHAM yang senantiasa penting dirujuk untuk negosiasi peserta mendapatkan kembali HAMnya dan praktik negara yang sering bertentangan dengan semangat DUHAM. Dan di tataran praktik, bagaimana peseta dapat bernegosiasi dan membangun ruang agar negara mau menjalankan kewajibannya. Pemahaman HAM akan menjadi pengetahuan penting untuk kelas selanjutnya yaitu teknik advokasi, agar pemenuhan HAM dapat terwujud.

Penulis: Dewi Nova

Views: 32

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

On Key

Related Posts

Form Kontak/Contact Us

// Indonesia AIDS Coalition Jl. Galur Sari IV No. 33A Jakarta Timur 13120 P. (021) 857-5378 Web form powered by 123ContactForm.com | Report abuse // Indonesia AIDS

Read More »

want more details?

Fill in your details and we'll be in touch